Hari
ini, tepat tiga tahun usia janjinya padaku. Tiga tahun yang lalu dia berjanji
untuk bertemu di sini, di ayunan taman Sekolah Dasar tempat kami sama-sama
menuntut ilmu, belasan tahun yang lalu. Tiga tahun lalu, melalui telepon ia
yang menentukan dan memaksaku untuk menyetujui pertemuan ini, disini. Jadi di
sinilah aku, duduk seorang diri di salah satu ayunan di taman Sekolah Dasar
tempat kami berjanji untuk bertemu.
Dua
tahun yang lalu, aku juga datang ke tempat ini, seorang diri, menunggunya sejak
jam 7 malam hingga hari itu pun berganti, tapi ia tidak juga datang. Jadi aku
memutuskan untuk pulang saja saat itu. Setahun yang lalu juga demikian.
Bedanya, setahun yang lalu aku menunggunya di ayunan taman ini sejam lebih
lama. Tapi ia tetap tidak datang. Dan tahun ini, sekarang ini, aku tetap saja
datang sendirian ke taman sekolah dengan harapan bahwa ia akan datang kali ini.
Aku
tidak peduli dengan orang lain yang mungkin menganggap aku tolol. Kalau
dipikir-pikir memang sangat tolol jika ada seseorang yang akan tetap menunggu
dengan setia di tempat dan waktu yang sama setelah dikecewakan dua kali oleh
orang tersebut. Yah, apapun pendapat orang lain itu tidaklah penting bagiku.
Mereka berhak berpendapat seperti itu, dan aku pun berhak untuk melakukan apapun
yang aku mau, termasuk untuk menunggu seseorang di tahun ketiga orang itu
berjanji.
Keras
kepala? Teman-teman dekatku bilang itu adalah nama tengahku, jadi tidak usah
heran. Tolol? Itu kata lain dari bodoh, kan? Aku rasa aku tidak cukup bodoh
untuk bisa menjadi seorang dokter umum yang mendapatkan beasiswa full untuk menjadi dokter ahli bedah di
usia muda. Gila? Kurasa tidak. Karena kalau aku terbukti gila, bahkan jika aku
baru mengalami gejala-gejala gila skala ringan, Evelyn pasti akan dengan senang
hati langsung menyeretku ke tempat praktek Aiden, kekasihnya, untuk menjalani
serangkaian tes kegilaan. Jadi aku ini kenapa? Kenapa aku masih saja setia
menunggu kedatangan seseorang untuk menepati janjinya yang telah 3 tahun
berlalu? Bahkan setelah orang itu sudah dua kali mengingkari janjinya? Kenapa?
***
Hatchiii...
Oh
sial! Aku terkena flu. Cuaca memang agak lebih dingin dari biasanya. Sekarang baru
masuk musim gugur, tapi sepertinya angin musim dingin sudah bertiup lebih awal.
“Kau
sakit?” tanya Emily begitu keluar dari kamar mandi.
“Tidak,
hanya sedikit flu. Laporan membuatku kurang tidur belakangan ini.” jawabku
sambil membersihkan hidung dengan tissue.
“Laporan
apa? Aku tidak ingat kau punya tugas laporan lagi setelah laporan bedah kanker
otak untuk dokter Curlez dua hari lalu.” Balas Emy sembari mengeringkan
rambutnya dengan handuk.
Aku
bangkit dan berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangan, bersikap seolah
tidak mendengar pertanyaan Emily barusan. Emily dan Evelyn adalah dua orang
yang paling dekat denganku selama bertahun-tahun ini. Kami sekolah di High School yang sama dan memutuskan
untuk tinggal di flat yang sama
semenjak tahun pertama kami kuliah hingga sekarang. Sekarang Eve berprofesi
sebagai pengacara di salah satu firma hukum terkemuka di negara ini, dan Emy
bekerja sebagai sekertaris wakil direktur di perusahaan penerbangan terbesar di
negara ini. Sedangkan aku? Aku hanya ‘calon dokter spesialis bedah’ yang dengan
rela terkena flu akibat berada di taman hingga menjelang subuh demi menunggu
seseorang yang telah meninggalkannya, dan mengingkari janjinya selama tiga
tahun. Tiga tahun! Cukup menyedihkan, sepertinya.
Pintu
apartemen kami terbuka dan Evelyn masuk beserta kekasihnya, Aiden, yang tengah
menenteng 4 cup caffe latte dan bungkusan plastik dari cafe yang terletak satu blok
dari apartemen kami.
“Kau
bawa apa?” tanya Emy langsung setelah Aiden menaruh semua bawaannya di atas
meja dapur.
“Waffle.”
Jawab Eve sambil menuang air putih.
“Oh
Aiden Lee! Kau mendapatkan restuku!” Aiden hanya terkekeh mendengarnya. Reaksi
Emy selalu seperti itu saat Aiden datang membawa sarapan untuk kami. Kemudian
ia berpaling kepadaku, tersenyum, dan bertanya, “Kau tidak mau sarapan, El?”
Aku
balas tersenyum dan meraih segelas caffe
latte yang dibawanya, lalu menyesapnya sedikit. Enak. Lalu aku meminumnya
seteguk. Panas.
“Tanggal
berapa ini? Oh sial! Kau pulang jam berapa semalam, hah?” tuntut Eve berkacak
pinggang di seberang meja.
“Astaga!
Aku lupa!” pekik Emy dan langsung berbalik dan memegang kedua bahuku. “Dia
tidak datang, kan?”
“Yeah...
seperti biasa.” Gumamku lirih.
“Oh
dear...”
“Cukup
sudah! Pokoknya tahun ini adalah tahun terakhir kau menanti artis amnesia itu,
El! Titik! Aku tidak akan lagi membiarkanmu keluar malam-malam dan menunggunya
di taman hingga nyaris subuh!” teriak Eve jengkel. Oh tidak, sepertinya dia
marah kali ini. Emy mengeratkan pelukannya padaku, memberiku suntikan kekuatan.
“Mianhae...”
gumamku lagi.
“Oh
Artis Amnesia itu yang seharusnya meminta maaf, El, bukan kau. Jika saja aku
mendapatkan rekaman percakapan kalian di telepon 3 tahun lalu, aku benar-benar bisa
menuntut artis itu atas tuduhan memberikan janji palsu, merugikan orang lain,
dan meresahkan banyak pihak. Sial!” omel Eve sambil mondar-mandir di sekitar
meja makan. Melihat Eve yang jengkel dan Emy yang masih memelukku, serta Aiden
yang menggenggam tanganku, seketika kekecewaanku menguap. Aku sadar kalau aku
tidak sendiri. Aku masih dan selalu punya mereka yang menyayangiku, walaupun
aku sangat yakin mereka sangat gemas dengan ke-keras kepala-anku selama ini.
Thanks, guys.
***
-TBC-
hihihi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar