Si
Artis Amnesia, atau pria-yang-tidak-boleh-disebutkan-namanya versi Eve dan Emy,
adalah salah satu aktor Korea Selatan yang tengah bersinar tiga tahun
belakangan ini. Berwajah tampan dengan fisik nyaris sempurna, dan memiliki
kemampuan acting yang sangat mengagumkan.
Terbukti dengan pencapaiannya dalam memenangkan berbagai kategori dalam
penghargaan bergengsi di dunia peran. Karirnya gemilang, catatan kehidupannya
yang diketahui publik cukup bersih dari gosip-gosip murahan. Netizen selalu
memberitakan sikap, tingkah laku, dan hubungannya dengan para rekan kerja serta
orang-orang di sekitarnya, dan semua itu bernilai positif dan membuatnya
semakin dikagumi masyarakat. Kehidupannya nyaris tanpa cela. Sangat sulit
dipercaya jika faktanya dia-lah yang membuatku selalu menunggu di ayunan taman
bermain setiap tanggal 27 September selama tiga tahun terakhir ini.
“Dokter
Nelson!” teriakan seorang anak kecil membuyarkan lamunanku siang ini. Aku
berbalik dan tersenyum melihat seorang gadis kecil dengan kursi roda menuju ke
arahku. “Dokter sedang apa?” tanyanya begitu sampai tepat di hadapanku.
“Hanya
menikmati udara segar. Kenapa kau keluar tanpa ditemani suster, honey?” tanyaku seraya membimbingnya ke
bangku taman.
“Suster
Walterz sedang sibuk mengobrol dengan pacarnya di telepon. Jadi aku
meninggalkannya. Sekarang pasti dia sudah sadar aku pergi dan sedang panik
berlari kesana-kemari mencariku. Hihihi.” Gadis kecil ini, Gabrielle, tertawa
senang telah berhasil membuat perawat pribadinya panik.
“Kau
jahil sekali, Gabby sayang. Jangan ulangi lagi, ya.” Nasehatku padanya. Dia
hanya mengangkat bahu mendengarnya. Gabrielle adalah salah satu pasien di rumah
sakit tempatku bekerja. Usianya baru tujuh tahun. Sembilan bulan yang lalu dia
mengalami kecelakaan hebat, kepalanya pendarahan parah, dan nyaris semua tulang
di badannya patah. Benar-benar mukjizat dia bisa selamat dari kecelakaan maut
itu, dan berhasil bertahan selama proses operasi berlangsung. Dia koma selama lebih
dari dua bulan, dan mulai menjalani proses terapi hingga sekarang.
“Kalian
disini rupanya.” Ucap seseorang di belakang kami.
“Dokter
Goode!” seru Gabby girang.
“Hai
Princess. Bagaimana kabarmu hari ini?”
“Tidak
pernah lebih baik,” jawabnya sambil tersenyum manis.
“Bagus
sekali,” timpal Zachary Goode, rekanku sesama dokter di rumah sakit ini.
“Oh
ya Tuhan! Gabby, kau membuatku jantungan! Kau tidak apa-apa? Jangan pernah
berbuat seperti ini lagi, mengerti?!” omel suster Walterz, perawat pribadi
Gabby. Keringatnya bercucuran, sepertinya dia benar-benar panik setengah mati
saat menyadari Gabby menghilang dari jarak pandangnya. Gabby hanya memutar bola
matanya sebagai respon. “Oh dokter Nelson dan dokter Goode. Maafkan kelalaian
saya. Saya sama sekali tidak bermaksud untuk...”
“Sudahlah. Lain kali jangan sampai terulang lagi,” potong Zach.
“Iya,
dok. Saya janji.” Kemudian suster Walterz pamit dan langsung membawa Gabby yang
cemberut ke gedung rumah sakit.
Begitu
mereka sudah hilang dari pandangan, Zach menoleh ke arahku dan bertanya, “Jadi,
kau sudah makan siang?”
“Belum.”
Jawabku sekenanya.
“Syukurlah.
Berarti kita harus makan siang bersama, lagi. Ah senangnya.”
“Eh?
Kenapa harus?”
“Karena
aku tahu, jauh di dalam lubuk hatimu kau sangat menantikan moment ini.”
“Cih...
percaya diri sekali.”
“Tidak
usah menyangkal. Aku tahu isi hatimu, babe.”
“Sok
tahu. Dan jangan memanggilku seperti itu, membuatku ingin muntah saja.” Lalu
aku berbalik dan berjalan menuju tempat parkir.
“Hey,
kau mau kemana? Mobilku parkir di sebelah sana,” ucapnya saat berhasil
menyusulku.
“Sorry,
Zach. Aku ada janji makan siang dengan orang lain.”
“Apa?!
Siapa?!” Zach berhenti berjalan dan pegangan tangannya juga membuatku berhenti
melangkah. “Dengan siapa kau berjanji untuk makan siang?” tanyanya lagi.
“Denganku.”
Aku dan Zach kaget dan kompak berbalik untuk melihat orang yang menjawab
pertanyaan Zach untukku. “Dokter Kevin,” seruku masih kaget.
“Hai
El, Zach. Aku baru saja akan menelponmu, El.” Katanya. Seketika pegangan tangan
Zach di pergelangan tanganku melemah, lalu terlepas.
“Kenapa
dokter mau menelponku?” tanyaku pada dokter Kevin Wu, seniorku dan Zach semasa
kuliah. Dia juga bekerja di rumah sakit ini.
“Aku
hanya ingin memberi tahu kalau kita makan siang di kantin saja. Aku ada operasi
siang ini. Maaf.” Ujarnya merasa bersalah.
“Oh,
It’s okay, dok. Jadi kita bisa makan
siang bertiga.” Ujarku tersenyum ke arah mereka, bergantian.
“Ah,
maafkan aku. Kalian makan siang berdua saja. Aku baru ingat masih ada berkas
pasien yang belum aku periksa. Permisi.” Ucap Zach lalu berbalik dan berjalan
pergi meninggalkan kami. Aneh sekali. Aku tahu dia berbohong. Beberapa menit
yang lalu dia baru saja mengajakku makan siang bersama. Lalu kenapa sekarang
dia malah menolak? Dasar aneh.
***
-TBC-
hihihi