Selasa, 27 Maret 2012

Draft 4

Seung Mi’s POV

“One, two, three, four, five, six, seven, eight... balas!”

“One, two, three, four, five, six, seven, eight.”

Pemanasan. Itulah yang sedang kami lakukan sekarang ini. Setiap sore kami rutin melakuan pemanasan ringan sebelum memulai kegiatan latihan untuk pementasan. Setelah pemanasan ringan, kami mulai berlari mengelilingi area parkir perpustakaan Multimedia yang menjadi tempat latihan rutin kami. Setelah berlari mengelilingi area parkir, kami melakukan peregangan otot selama beberapa saat, kemudian memulai latihan olah vokal.

Olahraga ringan tadi juga biasa disebut sebagai olah tubuh, meskipun kegiatan olah tubuh yang sebenarnya masih melibatkan beberapa gerakan khusus lagi.

            “Suara perut!”

            “Aaa! Iii! Uuu! Eee! Ooo!”

            “Ulangi!”

            “Aaa! Iii! Uuu! Eee! Ooo!”

            “Suara dada!”

            “Aaa! Iii! Uuu! Eee! Ooo!”

            “Leher!”

            “Aaa! Iii! Uuu! Eee! Ooo!”

            “Ulangi semua masing-masing lima kali!”

            Dan kami pun melakukan semua perintah tadi. Selalu. Setiap sore. Setiap hari. Selama dua minggu ini. Bosan? Belum. Capek? Belum juga. Semangat? Harus! Drama ini akan kami pentaskan diacara tahunan kampus, empat bulan dari sekarang.

            Cho Kyuhyun, sunbae yang menjadi ketua kelompok klub teater di UKM tempatku bernaung. Orangnya tinggi, berwajah tampan, sangat disiplin, penuh talenta dan prestasi. Bicara seperlunya, menghina seenaknya. Itulah semboyan khas Kyuhyun sunbae yang kami –nyaris semua anggota klub, sematkan padanya. Dia tidak akan ragu-ragu menghina actingmu jika menurutnya itu pantas untuk dihina. Hampir semua anggota klub teater pernah menelan hinaannya di awal-awal bergabung di klub. Aku masih ingat saat pertama kali bergabung dan mendapat peran utama di sebuah drama. Saat itu drama yang akan kami pentaskan adalah drama bertemakan budaya. Sesuai peran yang akan aku mainkan, aku dituntut untuk bisa menangis penuh kesedihan tiga detik setelah aku tertawa-tawa bahagia. Setelah berlatih khusus adegan ini seharian, akhirnya aku bisa langsung meneteskan air mata tepat tiga detik setelah tertawa bahagia. Anggota lain memperlihatkan jempolnya padaku, tapi Kyuhyun sunbae tidak. Ekspresi wajahnya datar, tapi matanya tajam menusuk. Dia bersedekap kemudian berkata,

“Penjiwaan karakter tidak ada, ekspresi wajah datar, ekspresi mata biasa saja, gesture kaku. Kau sebut itu acting? Ck! Belum cukup terlambat untukmu mengundurkan diri.”

Aku nyaris sinting dibuatnya waktu itu. Pertama kali bermain drama pastilah akan sangat banyak kekurangan. Bahkan bagi yang sudah beberapa kali bermain drama pun masih sering merasa kurang disana-sini. Untungnya, saat itu tidak ada anggota lain yang bisa menggantikan peranku. Jadi aku tidak jadi dipecat bahkan sebelum debut (?). Tetapi sebagai gantinya, aku disuruh berlatih menangis di perempatan jalan raya depan kampusku. Masih terbayang wajah-wajah letih sehabis bekerja yang menatapku aneh. Mungkin mereka pikir aku orang gila. Bahkan ada yang menghampiriku dan menanyakan keadaanku yang menyedihkan. Sepertinya urat malu yang terbenam dalam diriku itu putus disana saat itu. Dan hasilnya? Aku sesenggukan nyaris semalaman. Huhuhu.

Di drama akhir tahun kemarin, aku menjadi istri Kyuhyun sunbae. Awalnya keluarga kami bahagia, sakinah mawaddah warahmah. Tapi semua berubah saat bisnisnya hancur. Kyuhyun sunbae memerankan tokoh suami yang baik, pengertian dan penuh cinta di dua adegan awal. Kemudian berubah menjadi suami yang stress dan ringan tangan di adegan selanjutnya. Sampai pada saat adegan dimana dia harus menamparku, dan dia benar-benar menampar wajahku saat itu. Padahal pada saat latihan dia tidak pernah melakukan kesalahan dengan benar-benar menamparku. Oh God! Aku benar-benar menangis di panggung, bukan acting lagi.

Para penonton puas dan tiada henti memuji penampilan kami. Mereka benar-benar menyukai adegan tamparan itu, bahkan menyalamiku dan melihat langsung bekas tangan yang masih tercetak jelas di pipiku. Haaahh! Untung saja si Cho Kyuhyun itu langsung meminta maaf padaku setelah turun panggung. Dan tanpa diduga, hal inilah yang membuat hubungan kami menjadi lebih dekat dan akrab. Bukan hubungan yang bisa membuatmu merona, tapi lebih seperti hubungan rekan kerja yang saling membutuhkan. Dia menjadi sering memintaku untuk membantunya menyeleksi naskah, audisi, dan meminta pendapatku tentang sesuatu. Dan aku pun tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mempermantap kualitasku di panggung dengan belajar langsung darinya.

Drama kali ini, Kyuhyun sunbae yang menjadi sutradara. Berdasarkan hasil audisi, aku mendapatkan peran sebagai seorang istri dari lelaki paling tampan dan kaya di sebuah desa. Lelaki itu juga baik dan meskipun dia sudah beristri, dia tetap menjadi pujaan gadis-gadis seantero desa. Yang memerankan lelaki itu adalah Shim Changmin, teman seangkatan yang berbeda jurusan denganku.

Changmin ini orangnya sedikit susah diatur, tapi acting dan penjiwaanya sempurna. Ini kali kedua aku berpasangan dengannya di drama. Tapi peran Changmin terancam diganti kali ini. Para tetuah klub teater yang tiba-tiba datang melihat latihan perdana kami tadi memutuskan kalau Changmin kurang cocok memerankan tokoh Suami, dan mendadak mengadakan audisi ulang untuk peran tersebut. Semua namja yang ambil bagian di drama ini wajib ikut audisi. Mereka disuruh berlatih sendiri selama setengah jam lalu audisi pun dimulai. Dan hasilnya? Im Seulong-lah yang lolos audisi untuk peran Suami. Oh My God! Kenapa harus dia?!

***

Im Seulong –seorang namja dengan tinggi badan lumayan menjulang, berwajah manis dan lumayan terawat untuk ukuran seorang namja, agak pendiam, namja pertama yang aku kenal semenjak berstatus mahasiswi. Dia satu jurusan dan satu kelas denganku selama 5 semester ini, bahkan kami pun ikut UKM dan tergabung dalam bidang yang sama, teater. Tapi semua itu tidak membuat kami akrab sama sekali. Sikapku yang sedikit cerewet dan kadang ceplas-ceplos sangat kontras dengan sikapnya yang pendiam. Seingatku, selama ini selalu aku duluan yang menyapanya, sedangkan dia hanya akan diam dan tersenyum singkat –yang benar-benar sangat manis, sebagai balasannya.

Namja itu, Seulong, sedang menenggak air mineral di sudut kiri panggung. Kami baru saja selesai latihan perdana menggunakan panggung. Sebelumnya kami hanya latihan di halaman kampus ataupun di halaman perpustakaan multimedia yang berada tepat di depan kampus kami. Latihan di ruangan terbuka seperti itu bukannya tanpa tujuan, tapi justru memiliki tujuan yang sangat jelas dan penting bagi para insan teater seperti kami. Bukan pula karena kami tidak memiliki ruangan latihan khusus atau apa, tapi karena dengan berlatih di tempat terbuka itu membantu kami untuk mengatur tempat pengeluaran suara serta membimbing kami untuk bisa memperbesar volume suara tanpa terdengar seperti berteriak. Sangat bermanfaat, bukan?

“3 detik lagi matamu bisa lepas jika kau masih tidak berkedip menatapnya.”

“ Ne? Eh? Mwoyaaa?”

“Kau!”

“Aku? Aku kenapa?”

“Dwaesso!” Kyuhyun sunbae kemudian menutup laptop dan bersiap bangun dari duduknya.

“Sunbaenim.” Tahanku tanpa menyentuhnya sama sekali. “Waeyo?”

“Wae? Seharusnya pertanyaan itu untukmu, nona Park.” Katanya datar tapi berkesan tajam seperti biasa.

“Aku... berbuat salah, ya? Mianhaeyo, sunbaenim. Tapi kali ini aku benar-benar tidak tahu letak kesalahanku dimana.” Aku berdiri dan memasang wajah bersalah lalu menunduk melihat kedua kakiku yang polos tanpa alas kaki.

“Sebenarnya kau ini kenapa?”

“Aku? Aku baik-baik saja, sunbae. Kau ini bicara apa sih?”

“Baik-baik saja? Kau sama sekali tidak baik-baik saja. Apa kau jatuh dari tempat tidur lagi?” eh? Apa-apaan Kyuhyun sunbae ini? Kenapa tiba-tiba mengingat insiden memalukan itu lagi? Lalu apa lagi ini? Dia memegang wajahku dan menggoyang-goyangkannya ke kiri ke kanan. “Tidak ada benjol ataupun bekas memar.” Katanya lalu melepaskan tangan besarnya dari wajahku.

“Haisss... mwoyaaa???” aku cemberut. Sudah aku bilang padanya berulang kali kalau saat itu Jisun sedang mimpi bermain bola dengan David Beckham, makanya dia tidak sengaja menendangku hingga jatuh dari tempat tidur kami. Saat itu seluruh anggota klub teater dan klub tari liburan bersama di gunung. Karena tempat tidur di penginapannya lumayan besar, jadi satu kamar dihuni oleh 3 orang, dan aku satu kamar dengan Jisun dan Haeyeon. Sialnya, saat para sunbae hendak membangunkan kami, saat itulah Jisun –yang tidur ditengah, bermimpi sedang melakukan adu penalti dengan David Beckham. Jisun menendangku yang tidur membelakanginya sehingga aku jatuh terguling dan kepalaku terantuk kaki meja. Hasilnya, seisi penginapan jadi terbangun karena gelak tawa membahana para senior dan jidatku benjol. Huhuhu. Memalukan!

“Sudahlah. Lebih baik kau pulang saja.”

“Eh?” terlambat. Kyuhyun sunbae sudah berjalan meninggalkanku. Aku hanya bisa melihatnya turun panggung dengan bingung.

“Hya! Kau ini kenapa?”

“Apanya? Kenapa kau juga bertanya seperti itu padaku?” ketusku pada Raeseok, temanku yang ambil bagian dalam dekorasi panggung.

“Kau sedikit aneh belakangan ini. Kyuhyun sunbae itu tadi berbicara panjang lebar dan menanyakan pendapatmu tentang beberapa dialog yang sudah direvisi. Tapi kau hanya diam seperti patung. Aku saja yang berada 3 meter dari kalian masih bisa mendengarnya. Ckckck.”

Benarkah? Astagaaa! Kesalahan-tidak-terdugaku lumayan fatal ternyata! Kyuhyun sunbae kan paling tidak suka dengan orang yang seperti itu! Haaaaahhh... ottohkae???

***

“Sunbaenim... joseonghamnida... aku benar-benar tidak bermaksud seperti itu kemarin. Jinja. Jangan marah padaku. Ne? Ne?” Kataku dalam sekali tarikan nafas. Aku buru-buru berlari ke arahnya saat melihat dia keluar dari ruangan.

“Aku lapar. Belikan aku jajangmyun dan kopi. Bawa ke basecamp.” Perintah Kyuhyun sunbae padaku. “Oh iya, jangan beli di kantin umum, beli saja di kantin Kedokteran, biar cepat. Waktumu 15 menit dari sekarang.” Tambahnya sambil melihat jam di tangan kirinya.

“Mwo?”

“Kantin Kedokteran disebelah sana.” Dia menunjuk kearah gedung paling tinggi di kampus kami lalu berjalan pergi. Yang benar saja?! Harga makanan di kantin Kedokteran itu dua kali lipat dari harga normal. Belum lagi aku harus melintasi lapangan sepak bola untuk bisa sampai kesana. Dan sekarang jam 1 siang yang cerah tanpa awan. Dan ini menjelang akhir bulan. Haaahh! Sunbae sialan!

***

Draft 3

Park Seung Mi POV

“Sunbaenim, aku menyukaimu.”

Aku nyaris tersedak orange juice yang kuminum. Kami sedang berada di koridor fakultas, tepatnya di depan ruang Sekretariat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Seni dan Budaya Universitas Sungkyunkwan yang sudah melegenda. Sekarang ini sudah sore, jadi tidak mengherankan kalau yang berada disini bukan hanya aku dan dia saja, tetapi hampir semua mahasiswa pengurus BEM dan teman-temannya yang memang kegiatan rutinnya nongkrong di tempat ini setiap sore.

Namaku Park Seung Mi. Aku mahasiswi semester 7 jurusan Seni Musik di kampus ini, dan juga menjabat sebagai sekertaris umum BEM periode sekarang hingga periode selanjutnya. Aku sedang duduk bersandar di kursi paling ujung tempat ini dengan seperangkat laptop, earphone, beberapa map, bolpoint dan sekaleng orange juice di atas meja, melakukan kegiatan favoritku, berselancar di dunia maya. Aku rutin melakukannya dan sepertinya tidak akan pernah bosan untuk melakukannya.

Tadi itu aku sedang streaming drama favoritku yang sudah tayang tadi malam di televisi. Tapi apalah daya, aku hanya seorang mahasiswi yang tinggal di asrama kampus yang tidak memperbolehkan penghuninya memiliki televisi pribadi di kamar, karena sudah disediakan sebuah televisi yang ukurannya lumayan besar beserta ruangan khusus untuk menontonnya. Sial! Bagaimana mungkin aku bisa konsentrasi menonton jika gadis-gadis yang tinggal bersamaku di asrama ini selalu saja berpotensi membuat gaduh di jam-jam drama favoritku tayang. Jadi kuputuskan untuk menontonnya di internet saja esok harinya.

Dan hal itulah yang aku lakukan tadi sewaktu namja itu tiba-tiba datang dan tanpa permisi langsung duduk di sampingku sembari meletakkan tas ranselnya di meja panjang ini. Kutolehkan kepalaku sebentar ke arahnya, kemudian melanjutkan kembali aktivitas streaming favoritku tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Setelah drama yang kutonton berganti part, aku mem-pausenya sebentar kemudian meminum orange juice di hadapanku. Aku melihatnya memandangiku dengan kepala yang nyaris bersatu dengan ranselnya diatas meja. Sebenarnya aku sudah menyadarinya sejak tadi. Dia tidak pernah berhenti menatapku semenjak dia datang dan duduk disampingku. Tapi aku mengabaikannya, toh ini bukan hal yang asing lagi bagiku, karena dia sudah melakukannya selama hampir 4 bulan ini.

Namanya Lee Gikwang, mahasiswa jurusan Seni Tari semester 1. Ya, dia mahasiswa baru yang dulu aku ‘siksa’ saat ospek. Aku pernah menyuruhnya melakukan berbagai macam hal gila, yang tentu saja wajib untuk dia lakukan. Mulai dari merayu pohon, membaca puisi cinta ditengah lapangan di siang hari, memakai pakaian terbalik dengan warna-warna yang saling bertabrakan lalu kemudian menari-nari di depan Tugu Selamat Datang kampus kami, dan semacamnya. Aku bahkan pernah merendamnya di danau buatan kampus karena dia berani mengedipkan sebelah matanya kepadaku. Dia selalu saja mengeluh dan protes, tapi tidak pernah kuhiraukan. Toh pihak kampus sudah mengizinkan kami untuk ‘sedikit bermain-main’ dengan para mahasiswa baru selama masa ospek dengan syarat ‘permainan’ itu tidak akan membahayakan atau melukai mereka.

“Sunbaenim.”

“Mmm.”

“Sunbaeniiiimm.”

“Mwoya?” kutolehkan kepalaku untuk melihatnya. Kepalanya masih setia diatas ransel. Dia masih memandangku, lalu tersenyum.

Aku kembali meneguk orange juice-ku saat dia menegakkan kepalanya dan menghadapkan tubuhnya padaku. Sepertinya ekspresi wajahnya sedikit berubah.

“Sunbaenim, aku menyukaimu.”

*** *** ***

Pagi ini aku bangun lumayan siang. Setelah menguap lumayan lebar, aku bangun dan berusaha untuk duduk di kasurku yang empuk. Tapi ada apa ini? Usahaku untuk duduk gagal karena ada kaki yang bertengger indah di perutku. Ouh, pantas saja aku merasa sesak dan terbangun.

“Hya, Minji-ah... ireona...” kudorong kaki yang tidak sopan itu hingga kembali ke tempat yang sewajarnya. Tapi pemilik kaki itu tetap tidak menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Dia malah berbalik memunggungiku dan kembali meletakkan kakinya diatas pinggul Yoonhee yang juga masih tertidur di sampingnya, seolah mencari posisi yang nyaman. Dan kelihatannya Yoonhee sama sekali tidak terganggu dengan hal itu. Dia bahkan tidak bergerak sama sekali saat Minji meletakkan kakinya dengan cara tidak halus keatas pinggulnya. Ck! Mereka berdua sama saja kalau menyangkut masalah tidur. Sama-sama tukang tidur dan sangat sulit saat dibangunkan. Dan akulah orang beruntung yang harus membangunkan mereka. Cih... Itulah yang selalu mereka katakan saat aku mengeluh tentang hal ini. Menyebalkan!

Aku bangkit dari kasur dan langsung menuju kamar mandi di sudut ruangan. Setelah selesai mandi dengan semua ritualnya (?), aku melangkah keluar kamar mandi dan mendapati Yoonhee dan Minji masih tertidur pulas dengan posisi yang sudah berubah. Sekarang kaki Minji tidak lagi berada di atas pinggul Yoonhee, karena Yoonhee sudah tidur di lantai dengan seluruh badan terbungkus selimut. Mirip kepompong yang belum berubah jadi kupu-kupu setelah sekian tahun. Hahaha

Ini hari minggu, dan aku punya kegiatan rutin setiap hari ini. Sudah bisa menebak apa kegiatan rutinku? Yup! Online sepanjang hari! Setiap hari minggu aku memang akan menghabiskan hari di salah satu sudut tak terduga di kampusku. Walaupun hari minggu, kampusku ini jarang sekali sepi. Selalu saja ada banyak mahasiswa yang datang ke kampus karena kegiatan klub atau organisasi. Untung saja organisasi yang aku ikuti suka mengadakan kegiatan ataupun pertemuan di hari sabtu, jadi rutinitas mingguku tidak terganggu.

Karena itulah, tempatku untuk online selalu berpindah-pindah, tergantung dimana tempat yang sedang sepi saat itu. Kan tidak seru kalau nanti ada orang yang mengganggu ditengah-tengah penghayatanku menonton drama. Konsentrasiku bisa buyar! Tapi aku tidak pernah sendirian. Ada Eun Min, mahasiswi sastra semester 7 yang juga punya hobi yang sama denganku. Bedanya, dia lebih sering mendownload berbagai macam video dan menontonnya di lain waktu. Sedangkan aku lebih suka untuk menontonnya langsung dan baru akan mendownload jika video itu benar-benar ingin kutonton tapi saat itu aku punya video lain yang juga harus atau sedang kutonton. Lagipula, toh aku bisa minta video sama Eun Min, karena sungguh, koleksi video download-annya benar-benar lengkap! Solusi yang bagus, kan? Hahaha

Kupandangi cermin besar yang berdiri kokoh disamping lemariku. Hari ini aku memakai celana jeans dengan hoodie hitam kebesaran bergambar Tazmania kesayanganku. Tak lupa pula kuikat rambut sebahuku ke belakang hingga menyerupai ekor kuda yang kurang panjang. Hmm... sepertinya penampilanku tidak terlalu buruk. Jadi buru-buru kumasukkan hp dan laptop beserta kawan-kawannya kedalam ransel dan memakainya, kemudian melirik Minji dan Yoonhee yang masih tertidur pulas padahal jam sudah menunjukkan angka 09.27 pagi. Aisssh...

“Hya... ireona...” kutendang kaki mereka dengan pelan. Tidak ada reaksi berarti. Kugoyang-goyangkan badan mereka dengan kakiku secara bergantian, mereka bereaksi, tapi bukan untuk bangun melainkan berguling ke samping dan kembali melanjutkan tidur. Aku menyerah! Yang penting aku sudah berusaha. Jadi aku memakai sepatuku dan keluar kamar meninggalkan mereka.

*** *** ***

Aku duduk di lantai disamping Eun Min. Sudah beberapa jam kami disini dan sekarang dia sudah mematikan laptop dan memasukkannya kedalam tas. Aku sendiri sudah berdiri dan membersihkan celanaku dari debu tipis akibat duduk di lantai. Hari sudah mulai sore, dan Eun Min ada janji sore ini dengan Changmin, pacarnya. jadi daripada aku online disini sendirian, lebih baik aku pulang saja ke asrama.

Aku dan Eun Min berpisah di tempat parkir Fakultas Sastra. Eun Min terlihat benar-benar bahagia saat menerima dan memakai helm yang disodorkan Changmin padanya. Kupandangi motor sport hitam Changmin hingga menghilang dari pandangan. Haaahhh... pikiranku melayang dengan mudahnya. Apa yang sedang dilakukan namja itu? Apa dia baik-baik saja? Makanan orang bule tidak membuatnya sakit perut, kan? Seingatku sudah hampir tiga bulan dia tidak menghubungiku sama sekali. Apa dia sudah lupa padaku? Atau jangan-jangan dia sedang tidak ada pulsa? Tapi mana mungkin seorang Kim Heechul tidak punya pulsa? Haaahhh... apa yang sedang kupikirkan? Tapi... dia benar-benar tidak lupa padaku, kan??? Awas saja kalau dia berani melupakanku. Aku patahkan hidung mancung tanpa oplas kebanggaannya itu!!!

*** *** ***

Lee Gikwang POV

Aku melihatnya lagi. Entah sudah berapa kali aku melihatnya duduk sendiri di gazebo tepi danau kampus. Gadis itu, sunbae favoritku, masih betah dengan posisi duduknya yang bersandar di tiang gazebo. Sudah setengah jam lebih aku memandanginya dari motorku yang sengaja aku parkirkan tidak jauh dari gazebo tempatnya duduk.

Biasanya, seseorang akan merasa sadar atau risih sendiri saat ada seseorang lain yang memandanginya dengan intens. Tapi hal itu tidak berlaku untuk gadis itu. Jangankan menyadari pandanganku, dia bahkan tidak sadar saat aku datang dan memarkirkan motorku tak jauh dari tempat duduknya lebih dari setengah jam yang lalu. Astagaaa... 

Gadis aneh. Bukan, aku rasa kata ‘aneh’ kurang tepat untuknya. Dia itu... berbeda. Bahkan sangat berbeda dari gadis-gadis yang pernah aku temui sebelumnya. Dia satu-satunya gadis yang tidak berbinar-binar saat melihatku untuk pertama kalinya. Bukannya narsis, tapi aku ini benar-benar tampan dan cute. Bahkan ibu guru matematika yang sangat jarang tersenyum dan terkenal killer di beberapa generasi di SMA-ku itu mengatakan bahwa aku sangat tampan dan beliau berniat akan menjodohkan anak gadisnya denganku. Oh, yang benar saja! Apa kabar nasibku jika mendapat mertua yang sama sekali tidak punya sense of humour sepertinya. “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.” Haisss... Memikirkan hal ini selalu sukses membuatku merinding.