Rabu, 27 Februari 2013

Draft 6 Part 2


Si Artis Amnesia, atau pria-yang-tidak-boleh-disebutkan-namanya versi Eve dan Emy, adalah salah satu aktor Korea Selatan yang tengah bersinar tiga tahun belakangan ini. Berwajah tampan dengan fisik nyaris sempurna, dan memiliki kemampuan acting yang sangat mengagumkan. Terbukti dengan pencapaiannya dalam memenangkan berbagai kategori dalam penghargaan bergengsi di dunia peran. Karirnya gemilang, catatan kehidupannya yang diketahui publik cukup bersih dari gosip-gosip murahan. Netizen selalu memberitakan sikap, tingkah laku, dan hubungannya dengan para rekan kerja serta orang-orang di sekitarnya, dan semua itu bernilai positif dan membuatnya semakin dikagumi masyarakat. Kehidupannya nyaris tanpa cela. Sangat sulit dipercaya jika faktanya dia-lah yang membuatku selalu menunggu di ayunan taman bermain setiap tanggal 27 September selama tiga tahun terakhir ini.

“Dokter Nelson!” teriakan seorang anak kecil membuyarkan lamunanku siang ini. Aku berbalik dan tersenyum melihat seorang gadis kecil dengan kursi roda menuju ke arahku. “Dokter sedang apa?” tanyanya begitu sampai tepat di hadapanku.

“Hanya menikmati udara segar. Kenapa kau keluar tanpa ditemani suster, honey?” tanyaku seraya membimbingnya ke bangku taman.

“Suster Walterz sedang sibuk mengobrol dengan pacarnya di telepon. Jadi aku meninggalkannya. Sekarang pasti dia sudah sadar aku pergi dan sedang panik berlari kesana-kemari mencariku. Hihihi.” Gadis kecil ini, Gabrielle, tertawa senang telah berhasil membuat perawat pribadinya panik.

“Kau jahil sekali, Gabby sayang. Jangan ulangi lagi, ya.” Nasehatku padanya. Dia hanya mengangkat bahu mendengarnya. Gabrielle adalah salah satu pasien di rumah sakit tempatku bekerja. Usianya baru tujuh tahun. Sembilan bulan yang lalu dia mengalami kecelakaan hebat, kepalanya pendarahan parah, dan nyaris semua tulang di badannya patah. Benar-benar mukjizat dia bisa selamat dari kecelakaan maut itu, dan berhasil bertahan selama proses operasi berlangsung. Dia koma selama lebih dari dua bulan, dan mulai menjalani proses terapi hingga sekarang.

“Kalian disini rupanya.” Ucap seseorang di belakang kami.

“Dokter Goode!” seru Gabby girang.

“Hai Princess. Bagaimana kabarmu hari ini?”

“Tidak pernah lebih baik,” jawabnya sambil tersenyum manis.

“Bagus sekali,” timpal Zachary Goode, rekanku sesama dokter di rumah sakit ini.

“Oh ya Tuhan! Gabby, kau membuatku jantungan! Kau tidak apa-apa? Jangan pernah berbuat seperti ini lagi, mengerti?!” omel suster Walterz, perawat pribadi Gabby. Keringatnya bercucuran, sepertinya dia benar-benar panik setengah mati saat menyadari Gabby menghilang dari jarak pandangnya. Gabby hanya memutar bola matanya sebagai respon. “Oh dokter Nelson dan dokter Goode. Maafkan kelalaian saya. Saya sama sekali tidak bermaksud untuk...”

“Sudahlah. Lain kali jangan sampai terulang lagi,” potong Zach.

“Iya, dok. Saya janji.” Kemudian suster Walterz pamit dan langsung membawa Gabby yang cemberut ke gedung rumah sakit.

Begitu mereka sudah hilang dari pandangan, Zach menoleh ke arahku dan bertanya, “Jadi, kau sudah makan siang?”

“Belum.” Jawabku sekenanya.

“Syukurlah. Berarti kita harus makan siang bersama, lagi. Ah senangnya.”

“Eh? Kenapa harus?”

“Karena aku tahu, jauh di dalam lubuk hatimu kau sangat menantikan moment ini.”

“Cih... percaya diri sekali.”

“Tidak usah menyangkal. Aku tahu isi hatimu, babe.”

“Sok tahu. Dan jangan memanggilku seperti itu, membuatku ingin muntah saja.” Lalu aku berbalik dan berjalan menuju tempat parkir.

“Hey, kau mau kemana? Mobilku parkir di sebelah sana,” ucapnya saat berhasil menyusulku.

“Sorry, Zach. Aku ada janji makan siang dengan orang lain.”

“Apa?! Siapa?!” Zach berhenti berjalan dan pegangan tangannya juga membuatku berhenti melangkah. “Dengan siapa kau berjanji untuk makan siang?” tanyanya lagi.

“Denganku.” Aku dan Zach kaget dan kompak berbalik untuk melihat orang yang menjawab pertanyaan Zach untukku. “Dokter Kevin,” seruku masih kaget.

“Hai El, Zach. Aku baru saja akan menelponmu, El.” Katanya. Seketika pegangan tangan Zach di pergelangan tanganku melemah, lalu terlepas.

“Kenapa dokter mau menelponku?” tanyaku pada dokter Kevin Wu, seniorku dan Zach semasa kuliah. Dia juga bekerja di rumah sakit ini.

“Aku hanya ingin memberi tahu kalau kita makan siang di kantin saja. Aku ada operasi siang ini. Maaf.” Ujarnya merasa bersalah.

“Oh, It’s okay, dok. Jadi kita bisa makan siang bertiga.” Ujarku tersenyum ke arah mereka, bergantian.

“Ah, maafkan aku. Kalian makan siang berdua saja. Aku baru ingat masih ada berkas pasien yang belum aku periksa. Permisi.” Ucap Zach lalu berbalik dan berjalan pergi meninggalkan kami. Aneh sekali. Aku tahu dia berbohong. Beberapa menit yang lalu dia baru saja mengajakku makan siang bersama. Lalu kenapa sekarang dia malah menolak? Dasar aneh.

***

-TBC-
hihihi